Kamis, 17 Maret 2011

BERFIKIRLAH SEBELUM BERBUAT MAKSIAT


Seorang laki-laki datang kepada Ibrahim bin Adham rahimahullah, Dia berkata: “Ya Aba Ishaq, aku sering berbuat maksiat. Katakan sesuatu kepadaku sebagai nasihat yang bisa membantuku.”
Ibrahim berkata: “Jika kamu menerima 5 perkara dan kamu mampu melakukannya, niscaya kemaksiatan tidak akan merugikanmu.”
Dia menjawab, “Katakan wahai Abu Ishaq”
Ibrahim berkata, “Pertama, jika kamu hendak bermaksiat kepada Allah ta'ala maka jangan kamu makan rizki-Nya”
Laki-laki itu berkata, “Dari mana aku makan sementara semua yang ada di bumi adalah rizki-Nya?”
Ibrahim berkata, “Wahai Bapak, apakah pantas engkau memakan rizki-Nya, sementara itu engkau bermaksiat kepada-Nya?”
Laki-laki itu menjawab, “Tidak pantas. Katakan yang kedua” 
Ibrahim menjawab, “Jika kamu hendak bermaksiat kepada-Nya, maka jangan tinggal di bumi-Nya”
Laki-laki itu menjawab, “Yang ini lebih berat. Dimana saya akan tinggal?” 
Ibrahim berkata, “Wahai Bapak, pantaskah engkau bermaksiat kepada-Nya, sementara engkau makan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya?” 
Laki-laki itu menjawab, “Tidak pantas. Katakan yang ketiga”
Ibrahim  berkata, “Jika kamu hendak bermaksiat kepada-Nya, kamu makan rizki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempat dimana Dia tidak melihatmu. Disitulah kamu bisa melakukannya.”
Laki-laki itu menjawab, “Wahai Ibrahim, apa ini? Mana mungkin, sementara Dia mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi”
Ibrahim berkata, “Wahai Bapak, apakah pantas kamu makan rizki-Nya, tinggal di bumi-Nya, lalu kamu bermaksiat kepada-Nya, padahal Dia melihatmu, mengetahui  apa yang kamu tampakkan dan kamu rahasiakan?”
Laki-laki itu menjawab, “Tidak. Katakan yang keempat”
Ibrahim menjawab, “Jika Malaikat maut datang kepadamu untuk mencabut nyawamu, maka bilang kepadanya, “Nanti dulu, aku mau bertaubat dengan benar-benar dan beramal kerana Allah”
Laki-laki itu berkata, “Dia tidak mungkin akan menerima”
Ibrahim berkata, “Wahai Bapak, jika engkau tidak mampu menolak malaikat maut supaya engkau bisa bertaubat dan engkau mengetahui bahwa jika dia mendatangimu dia tidak memberimu kesempatan, lantas bagaimana engkau berharap selamat?”
Laki-laki itu berkata, “Katakan yang kelima?”
Ibrahim berkata, “Jika malaikat Zabaniyah mendatangimu pada hari Kiamat untuk menyeretmu ke Neraka, maka jangan engkau menurutinya”
Laki-laki itu berkata, “Mereka tidak akan membiarkanku dan tidak akan menerimaku”
Ibrahim bertanya, “Bagaimana engkau bisa berharap selamat?”
Laki-laki itu berkata, “Ya Ibrahim, cukup..cukup.., aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah.”
Laki-laki itu benar-benar memenuhi janji taubatnya. Dia rajin beribadah dan menjauhi maksiat sampai dia meninggal dunia. 

Dimbil dari “Mausu'ah Qishashis Salaf”, edisi bahasa Indonesia “Ensklopedi Kisah Generasi Salaf” karya Ahmad Salim Baduwailan, penerbit Elba

HIKMAH DIBALIK PENGHINAAN

oleh Syaripudin Zuhri 

Ada saat saat dalam pergaulan, kau mungkin merasa direndahkan, merasa terhina atau merasa diremehkan karena kedudukan, status sosial atau jenis pekerjaan. Lalu kau merasa direndahkan sedemikian rupa hingga kau merasa dikucilkan atau merasa tak dianggap sama sekali atau bahkan tak "diorangkan" oleh orang lain, sabarlah dan ucapkan Alhamdulillah !

Loh gimana sih, Lagi dihina orang kok alhamdulillah ? Ya, karena pada saat kau merasa dihina atau memang betul-betul dihina atau bahkan mungkin di caci maki dihadapan orang banyak, katakan "alhamdulillah" mengapa ? Karena pada saat itu sedang terjadi transfer yang luar biasa cepatnya, dimana pahalamu sedang bertambah dari orang yang menghinamu, sedangkan dosa-dosamu sedang diambil orang yang sedang menghinamu. Nah bukankah itu membahagiakan, mendapat pahala gratis dan terhapus dosamu tanpa usaha.
Susah memang pada awalnya, dihina kok alhamdulillah ? Yang jelas tak perlu merasa terhina saat dihina orang lain, karena orang yang mudah menghina orang lain adalah bukan orang yang mulia. Jangan-jangan lebih hina dari orang yang sedang dihina. Lagi pula Dia dalam firmanNya mengatakan " Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain ( karena ) boleh jadi mereka ( yang diolok-olokan ) lebih baik dari mereka yang mengolok-olokan " (QS 49:11) Jelas sekali kan firmanNya itu. Jadi mengapa perlu bersedih atau sakit hati bila dihina orang lain ? Lagi pula hinaan itu ibarat kawah candradimuka, hati itu digodok sedemikian rupa, agar tak mudah goyah, tabah dan sabar. Jadilah ilalang yang diinjak-injak orang masih tetap hidup atau jadilah seperti baja yang makin di tempa, makin di palu makin kuat.

Kita sudah sama-sama mengetahui bahwa orang yang mulia sangat menghargai orang lain dan mudah memaafkan orang lain yang bersalah kepadanya. Jika terjadi sebalikknya itulah orang yang hina. Memang dalam kehidupan, orang begitu merasa sakit di hati bila mendapat penghinaan dari orang lain, sampai-sampai mungkin tidak bisa tidur karenanya, boleh jadi menimbulkan dendam yang membara hingga ada niat untuk membalas rasa sakit hati tersebut pada orang yang telah menghinannya.

Namun bila dihadapi dengan hati yang jernih, saat di hina, justru "alhamdulillah" karena saat itulah kita dapat mengetahui kualitas akhlak orang lain, saat itulah kita dapat mengetahui siapa sesungguhnya orang yang sedang menghina itu. Dan boleh jadi saat di hina kita segera dapat mengintropeksi diri, jangan-jangan kita memang pantas untuk dihina, karena kelakuan, perkataan atau perbuatan kita sendiri. Jika memang hinaan itu benar, kata "alhamdulillah"pun masih tepat, karena secara tidak langsung, orang yang sedang menghina itu telah menunjuki kesalahan kita.

Alhamdulillah, ada "konsultan" gratis yang tanpa diminta telah menunjukan kesalahan kita. Dengan demikian, kita akan segera memperbaiki diri. Nah bukankah hinaan itu membawa hikmah ? Nah bukankah kalau kita mendapat hikmah, kita bersyukur ? Sedangkan kata yang paling tepat untuk bersyukur adalah alhamdulillah.
Kata alhamdulillah kelihatanya sederhana, namun mengadung makna yang luar biasa. Bila saat di hina atau merasa dikucilkan saja sudah mampu mengucapkan alhmdulillah, apa lagi bila mendapat rejeki, pujian atau mendapat sesuatu yang baik, sudah sepantasnya kita mengucapkan kata "alhamdulillah", segala puji bagi Allah, kita kembalikan pujian tersebut kepada Allah SWT, karena memang Dialah yang pantas mendapat pujian !

AGAR IBADAH LEBIH BERMAKNA

Setiap dari kita setiap akan melaksanakan shalat pasti berwudlu terlebih dahulu, akan tetapi pada banyak kesempatan seseorang hanya ingin mewujudkan syarat ibadah saja, dan ini tidak mengapa (diperbolehkan) dan tujuan pun akan dicapainya. Akan tetapi ada sesuatu yang lebih tinggi dan penting dari hal itu:

Pertama:
Jika hendak melaksanakan wudhu, hadirkanlah perasaan bahwa Anda sedang melaksanakan perintah Allah, yaitu dalam firman-Nya yang artinya:

“Hari orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (Al-Maidah: 6)
Dengan demikian terwujudlah makna ibadah pada diri Anda.

 
Kedua:
Jika Anda sedang berwudhu hadirkanlah perasaaan bahwa Anda sedang berittiba' (mengikuti petunjuk) kepada Rasulullah saw, sebab beliau  bersabda:

“Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian ia shalat dua rakaat, [dengan tidak menyibukkan dirinya dalam pelaksanaan shalat tersebut urusan dunia, maka akan diampuni dosanya yang telah berlalu] (HR. Bukhari, Muslim)
Dengan demikian Anda telah mewujudkan dua syarat ibadah.

Ketiga:
Berharaplah pahala dari Allah dengan wudhumu itu, sebab wudhu menghapuskan dosa-dosa, maka hilanglah dosa-dosa yang dilakukan tangan bersama tetesan air wudhu terakhir setelah selesai mencuci tangan. Demikain pula anggota wudhu yang lainnya.

Ketiga makna yang agung ini terkadang kita melupakannya. Demikian juga ketika Anda shalat, Anda memulainya dengan menghadirkan perasaan akan perintah Allah dalam firman-Nya yang artinya

“Dan dirikanlah shalat” (Al-Baqarah: 43)
Kemudian Anda sadar bahwa sedang berittiba' kepada Rasulullah saw dimana beliau bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat” (HR. Bukhari, Muslim)
Kemudian disertai mengharap pahala dari-Nya, sebab shalat merupakan penghapus dosa diantara dua waktu shalat. Dan ibadah-ibadah lainnya.

Hal-hal ini seperti ini telah hilang dari kita, oleh karenanya Anda dapatkan kami -semoga Allah senantiasa memaafkan kita- tidak terwarnai oleh pengaruh-pengaruh (baik dari pelaksanaan) ibadah sebagaimana seharusnya. Padahal kita telah tahu bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, akan tetapi siapa diantara manusia setelah melaksanakan shalat pikirannya menjadi (baik) dan shalatnya mampu mencegah dari berbuat keji dan mungkar? Kecuali sedikit saja, sebab tujuan utamanya hilang tidak terwujud.

Diambil dari Syarah Hadits Arba'in, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Pustaka Ibnu Katsier